Cerita ini dimulai disini. Aku tidak pernah jelas untuk merasakan segala sesuatunya. Arah segala sesuatu ini berjalan, sepertinya tak tentu, tapi seperti ada rencana di balik semua ini. Apakah memang begitu rumitnya, atau malahan begitu sederhananya, seperti sebuah bulatan kosong. Manusia toh tidak ke mana-mana. Segalanya terjadi hanya karena benturan-benturan kepentingan yang berbeda.

Ada tiga kelurga yang mati terbakar, kejadian kemarin. Aku tidak kenal mereka sih, hanya baca koran. Memang sekarang segala sesuatunya jadi cepat, juga berita. Apa yang terjadi di ujung sana sudah terdengar di ujung sini.

Aku seorang naturalist. Karena dibesarkan dalam keluarga katholik, ya aku percaya yesus, dan meyakini ajarannya. Yang ku pegang adalah kebangkitan, kehidupan abadinya dalam diri manusia, dan berkah roh kudus yang diturunkan. Selebihnya, injil, tidak bisa ditelan bulat-bulat.. Biarkan hati nuranimu bicara…itu sering terngiang-ngiang dalam segala situasi yang ku hadapi. Naturalist artinya, kita manusia dan seluruh spesies didalam alam semesta, menanggung hak dan kewajiban yang sama, dan Tuhan adalah hukumnya. Hukum alam. Manusia pada kenyataannya adalah species yang terkejam yang saat ini eksis di bumi, yang seringkali memodifikasi hukum alam, dan yang pada saatnya nanti akan menanggung segala akibatnya. Banyak yang terikut kena hukum tanpa tahu apa-apa. Instansi-instansi agama juga seringkali merusak hubungan antar manusia dan alam ini, jadi, aku tidak mendukung agama apapun yang ada. Aku ingin seperti bunga, atau kambing, atau pohon, atau apa saja, dalam artian tunduk pada bukan agama.

Rekreasi atau pemuasan diri, pemuasan rasa berkuasa.

Untuk menghukum manusia saat ini telah tercipta manusia generasi baru, yang memulai suatu proses pemunahan bukan saja diri sendiri tapi species sendiri, dengan memulai dari proses pemunahan alamnya. Lahir manusia-manusia yang semata-mata dikuasai nafsu tanpa rasa. Kebodohan merajalela dan menguasai alam-alam pikiran logika serta perasaan perasaan halus yang sebenarnya akar dari kehidupan. Pembunuhan-pembunuhan, pemerkosaan, dan hukum rimba yang masuk ke kota. Kedinginan dan kelaparan. Tidak ada yang dapat dihindari lagi karena batu waktu telah digelindingkan, dan hitungan bukan lagi siapa yang selamat, tapi, siapa yang bisa musnah paling belakang. Dari generasi ini percaya, lahir untuk mati, baiklah saling membunuh, karena hakekat dasarnya adalah itu. Dan kemudian kemunafikan menutupi segalanya. Marilah bersama-sama berdoa kepada Tuhan.

Dan aku berjalan sendiri di kota kejam ini. Semua bilang begitu, hingga mau tidak mau aku anggap kota ini kejam, apanya tak jelas. Yang nyata aku rasakan adalah lapar dan kedinginan, dan haus. Ini sudah jam 3 pagi, seharusnya aku tidur nyenyak di kostku di Yogya, habis mabuk bersama teman-teman, tapi disinilah aku...Jakarta. Tadi pagi aku sampai dengan bis malam, langsung mencari cintaku yang hilang jiwanya termakan binatang metropolitan. Besarnya kota ini bikin aku asing dengan segalanya. Padahal toh ini juga tempatku berpijak. Tanah yang juga tanah, udara yang juga udara saja, dan orang orang yang juga biasa saja, mereka tidak akan perduli dengan aku asal aku tidak ngganggu apa-apa. Dan aku berjalan terus sampai subuh.
Harapan baru merekah, walau bercampur keringat dingin dan air liur binatang-binatang buas itu mengering bersama debu. Kegelapan sirna bersama hantu-hantu jalanan. Aku masih juga kedinginan, ini pagi, akan hujan kelihatannya. Baru sadar aku bahwa waktu tidak beku, tidak juga pada dingin yang mati ini.
Seminggu yang lalu aku masih tidak perduli sampai penolakan itu mengiris. Karena hanya dengan diam saja, dia sudah menikamkan pisaunya ke kalbu. Artinya, pergilah jauh, jangan ganggu aku. Aku tau sekali dia cantik, tapi tentulah bukan itu yang aku perjuangkan, tapi ego ini yang terlalu besar aku tanggung, di badan yang kurus ini. Siap mati kalau tersinggung sedikit saja. Misteri cinta ini tak pernah terjawab, karena banyak sisi termasuk benci dan dendam.
Aku masuk ke warung tegal kecil gang kumuh. Makan dan segelas teh tawar hangat. Ah bapak, oh ibu tua penjual nasi, permisi, aku baru saja habis diperah hantu-hantu malam ingin numpang sedikit kehangatan disini istirahatkan badan dan jiwa. Matraman Raya.
Aku percaya aku tidak tahu akan kemana ini akhir dari semua. Aku tahu sang waktu sedang memperkosaku dengan tanya tanyanya yang halus. Dan lunglai aku berjalan lagi. Asap-asap kota debu jalanan kujilati. Aku ditopang oleh kemanusiaanku memandang kedepan, karena tidak mampu bermimpi lagi. Kepalaku sakit.
Prioritas dalam hidup ini anehnya bukan hidup itu sendiri tapi, kemenangan, kemenangan atas badan, atas jiwa atas hidup itu sendiri. Keabadian.
Dingin yang tadi sudah hilang sekarang dicakar matahari pagi. Sama saja ganasnya. Kendaraan meraung-raung minta ampun, kenapa harus tercipta, dan seperti jiwa-jiwa yang sepi tanpa badan, asap-asap knalpot itu melayang diam diudara, kosong, tapi padat.
Langkahku lanjut, dan jiwaku semakin robek. O perempuan, o perempuan.........

Perjalananku hanya seperti berakhir, saat menunggu dia pulang kerja, duduk ditempat satpam, dengan segala bantah-membantah dalam diri. Bayangkan, 6 jam menunggu. yang aku tahu tak ada kepastian. Saat itu aku merasakan jalan panah waktu, tembus ke depan tanpa ada yang mampu menghalang. Aneh, selama ini aku seperti hilang, larut di dalamnya, dan aneh, sekarang aku begitu terpisah, terputus dari waktu, dan menonton hanya dari sisi sebelah mana…dan desaunya begitu jelas, bergesekan dengan jiwa, Mengiris. Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, aku hanya duduk diam menghitung detik, menit, jam sebelas, setengah duabelas, ooo begitu tajamnya ini mengiris sampai dagingku.